:. Bambang Suhartono' Blog .:

Home » Posts tagged 'a cup of cofee'

Tag Archives: a cup of cofee

2 buah bata

Pada tahun 1983 sang pengarang yang adalah seorang biksu mulai membangun sebuah wihara di salah satu tempat di Australia.

Karena tidak memiliki cukup uang untuk membayar tukang, sang biksu dan rekan-rekannya mengerjakan sendiri bangunan itu : mempersiapkan pondasi, menyemen, dan memasang batu bata, mendirikan atap, memasang pipa-pipa – pokoknya semua. (more…)

Cerita dari gunung

Seorang bocah mengisi waktu luang dengan kegiatan mendaki gunung bersama ayahnya. Entah mengapa tiba-tiba si bocah tersandung akar pohon dan jatuh. “Aduh!”, jeritannya memecah keheningan suasana pegunungan. Si bocah amat terkejut ketika mendengar suara dikejauhan menirukan teriakannya persis sama, “Aduhh!”
(more…)

Kehandalan

Pernahkah kita secara serius mengukur berapa nilai profesionalisme dan keandalan diri kita? Seberapa sering sikap kerja dan kualitas kerja Anda diacungi jempol oleh pelanggan? Seberapa sering pelanggan memberi komentar: “Saya memilih perusahaan ini karena Anda bisa diandalkan!”? Apresiasi pelanggan atas keandalan kita tentu menimbulkan perasaan bangga. Pengalaman ini otomatis bisa membuat kita terdorong untuk mencari cara-cara lain yang bisa membuat pelanggan lebih puas, mendalami dan mencari celah untuk melakukan hal yang lebih baik lagi. Beginilah rasanya kalau kita dihargai karena upaya kita, dibayar dengan rela hati, dan merasa berkembang. Tanpa disadari, kualitas kerja kita juga kita dorong untuk meningkat, sadar bahwa pelanggan menikmatinya.

Setiap orang, setiap pekerja, mustinya sadar bahwa peningkatan keandalan diri adalah prioritas utama. Kita melihat masih begitu banyak situasi yang kita temui, di mana para profesional yang dituntut memberikan layanan yang tepat waktu dan profesional, malah memberikan servis dengan angin-anginan, tidak mempraktekkan prosedur dengan benar, tidak tuntas dalam memenuhi kebutuhan yang diharapkan pelanggan. Seringkali pelanggan tidak mau repot-repot mengeluh, tetapi dengan gampang tidak lagi kembali dan mencari profesional lain. Ada perusahaan yang memindahkan keagenan produk ke perusahaan lain karena tidak puas, sampai akhirnya si produsen membuka kantor perwakilan sendiri. Lihat betapa para pasien bereksodus ke rumah sakit negara tetangga untuk mendapatkan pelayanan yang lebih profesional. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang “menyelundupkan” supervisor asing, sekedar untuk memandori buruh kita. Apa yang kita rasakan melihat dicaploknya rejeki dalam pariwisata, dengan pengelolaan asing yang dominan dalam industri pariwisata negara kita sendiri? Para “bule” menjadi wirausaha handicraft, sementara pekerja kita hanya sebagai pekerja kasar karena mereka tidak percaya bahwa orang Indonesia bisa profesional.

(more…)